Refleksi Sepuluh Tahun Cahaya Aksara

Refleksi Sepuluh Tahun Cahaya Aksara

Oleh: Muhamad Hafidudin

Sekapur Sirih

Setiap manusia pernah menjumpai pengalaman berharga dalam hidupnya, di antara pengalaman berharga dalam hidup saya adalah terlibat dalam pengembangan manusia dengan literasi dan pendidikan di Cahaya Aksara. Entah sejak kapan saya resmi menjadi relawan Cahaya Aksara. Saat itu, belum ada mekanisme perekrutan relawan secara khusus. Seingat saya, pertama kali saya berkegiatan di Cahaya Aksara adalah Hari Minggu, 05 November 2017, terlibat dalam pembuatan film dokumenter bertajuk “Semangat, Keringat, Kalimat”, ketika itu Cahaya Aksara baru berumur tiga tahun dan masih bernama TBM Saung Huma.

Setelah kegiatan pertama tersebut, saya “ketagihan” untuk terus berkegiatan di Cahaya Aksara. Ada kebahagiaan tersendiri ketika berjumpa dengan teman-teman yang sama-sama ingin belajar tentang apa saja di sana. Narasi-narasi yang terus digaungkan oleh pendiri Cahaya Aksara, Munawir Syahidi, senantiasa membius kami untuk hanyut dalam kata-katanya dan berteduh di pohon jiwanya. Setidaknya, dua dari banyaknya alasan itulah yang membuat kami, para relawan, betah di Cahaya Aksara.

Cahaya Aksara, yang memulai kegiatannya dengan nama TBM Saung Huma pada 14 April 2014, dan mengubah namanya menjadi Cahaya Aksara pada 09 September 2020, kini telah berusia 10 tahun. “Cahaya Aksara tidak berani memperingati hari lahirnya kecuali menginjak umur 10 tahun”, begitulah kira-kira kalimat yang saya dengar dari Munawir Syahidi ketika menjawab pertanyaan tentang perayaan ulang tahun Cahaya Aksara. Tentu hari itu selalu kami nantikan, dan penantian itu telah tiba! Dalam perjalanan 10 tahun Cahaya Aksara, setidaknya telah tujuh tahun saya terlibat dalam perkembangannya. Tulisan ini akan mengulas bagaimana posisi dan peran Cahaya Aksara dalam literasi dan pendidikan Indonesia selama 10 tahun.

Masalah Fundamental Literasi dan Pendidikan

Literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan yang dilatih melalui pendidikan agar sanggup menjalankan kehidupan. Pendidikan yang tepat akan menghasilkan masyarakat yang literat. Pendidikan yang cacat akan menghasilkan masyarakat yang aliterat bahkan iliterat. Apakah pendidikan Indonesia saat ini sudah tepat atau justru cacat?.

Filsafat pendidikan, setidaknya filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire, sama-sama berangkat dari peristiwa dehumanisasi. Ki Hajar Dewantara berangkat dari peristiwa dehumanisasi oleh kolonialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia. Paulo Freire berangkat dari dehumanisasi pertentangan kaum penindas dan kaum tertindas di Brazil. Oleh karena itu, secara aksiologis, filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire berupaya melakukan humanisasi, yaitu proses pembentukan manusia secara utuh dengan merenggut kembali budi pekerti, pikiran, dan tubuh yang dirampas oleh kepentingan segelintir orang.

Menurut Irene Guntur, psikolog pendidikan dari Integrity Development Flexibility (IDF), sebanyak 87 persen mahasiswa Indonesia merasa salah jurusan. Selain itu, setiap tahun, saya selalu mendatangi dan didatangi oleh adik-adik kelas XII SLTA yang merasa bingung mau melanjutkan pendidikan kemana. Pun banyak sekali mahasiswa yang saya temui mengaku dirinya salah jurusan. Artinya, sampai hari ini, kebanyakan dari kita sudah teralienasi dari diri kita sendiri. Kodrat kita sebagai manusia utuh diabaikan sama sekali. Kecenderungan atau minat bakat kita terhempaskan begitu saja. Dan kita hanya menjadi semacam robot yang diprogram untuk menjadi budak korporasi.  

Dengan begitu, jelas bahwa manusia adalah korban dehumanisasi. Dehumanisasi adalah hasil dari mesin hasrat yang tak terkalahkan bernama kapitalisme. Kapitalisme melahirkan pendidikan yang komersial, anti ilmiah, anti demokratis, dan anti rakyat. Keadaan pendidikan demikianlah yang melahirkan dehumanisasi, mengalienasi budi pekerti, pikiran, dan tubuh dari diri yang sebagai manusia utuh dan sebagai manusia yang memiliki kecenderungan.

Upaya Kecil Cahaya Aksara Melawan Dehumanisasi

Dalam suasana demikian, tentulah diperlukan solusi untuk melakukan perubahan. Perubahan dalam dunia pendidikan dapat dilakukan melalui tiga hal: kritik, budaya tandingan, dan revolusi. Pertama, kritik dapat ditujukan kepada pemangku kepentingan untuk mengkritik kebijakan yang menjadi dasar dehumanisasi dalam dunia pendidikan. Kedua, budaya tandingan dapat dilakukan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan alternatif yang anti dehumanisasi semacam Sokola Rimba dan Sanggar Anak Alam. Ketiga, revolusi bukan saja mengubah sistem pendidikan, tapi juga untuk menghukum dan menentang segala perbuatan tercela dan mencapai segenap perbaikan dari kecelaan, termasuk dehumanisasi di dunia pendidikan.

              Dari ketiga opsi yang ditawarkan untuk melakukan perubahan, Cahaya Aksara berada pada posisi kedua, berperan dalam mewujudkan perubahan dengan menjadi model pendidikan tandingan dari model pendidikan umum yang bermasalah. Dan ia telah bertanding selama 10 tahun! Visinya: “pengembangan SDM unggul dengan pendidikan berbasis vokasi dan literasi”, dimanifestasikan oleh CEO dan relawan menjadi berbagai kegiatan yang telah terlaksana secara rutin selama 10 tahun dari harian, mingguan, bulanan, tahunan, hingga momentum: Ngariung Santai Edukasi untuk Kehidupan (Ngaseuk); Berbincang, Membaca, dan Berdaya (Bercahaya); Perjalanan Literasi (Palit); Acara Serius Santai Nunggu Maghrib (ASSAUM); Ngaramekeun Dirgahayu Kemerdekaan (Ngayuman); Ngobrol Edukasi Membaca (Ngoread); Mencari Relawan Cahaya Aksara (Maraca); dan kegiatan perayaan hari-hari besar nasional dan keagamaan.

              Upaya yang dilakukan Cahaya Aksara tentunya bukan upaya besar yang berdampak besar semacam revolusi. Ia hanya semacam burung pipit yang berupaya memadamkan api nabi Ibrahim dengan air di paruhnya yang mungil. Namun, bukankah Tuhan sangat menghargai sikap dan periku burung pipit tersebut? karena menunjukkan keberpihakan kepada yang benar! Begitupun upaya Cahaya Aksara dalam melawan dehumanisasi dengan cara halus. Dengan upaya yang telah dilakukan selama 10 tahun ini, Cahaya Aksara telah berhasil menjadi oasis di tengah padang pasir.

Bantul, 15 April 2024



Bagikan

Komentar