Beberapa nulan ini, kita menyaksikan begitu banyaknya ketidak pastian dalam pendidikan, hubungannya bukan dengan perubahan nama pada kementerian yang membidangi pendidikan, tetapi lebih pada akibat dari pandemi covid 19 terhadap pendidikan di Indonesia. Terutama unutk sekolah-sekolah yang memang menerapkan Pembelajaran jarak Jauh. Sekolah formal yang dikendalikan sistem negara. Sementara beberpa pondok pesantren yang pembelajarannya terpusat di pondok pesantren tetap melaksanakan pembelajaran di lingkungan pondok pesantren, dengan protokol kesehatan. Walaupun rencananya tahun ajaran baru Juli 2021 pembelajaran akan dilaksanakan di sekolah dengan protokol kesehatan dan dengan aturan tertentu.
Momen mudik lebaran idul fitri juga menjadi peristiwa yang asyik untuk diperbincangakan, tidak boleh mudik, penyekatan diberbagai ruas jalan, walaupun tetap ada yang memaksa mudik. Serba serbi penanganan civid 19 di Indonesia. Lebih daripada itu akibat dari pandemi 19 juga menyangkut kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan.
Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya, atau mungkin juga kegelisahan anda? Anak-anak usia sekolah yang  sepertinya dengan pembelajaran jarak jauh, menyebabkan mereka jauh dari belajar tetapi semakin dekat dengan gaway.
Kalau dikalkulasi, ketika anak-anak sekolah memegang gaway atau smartphone waktu untuk belajar cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan waktu mereka berselancar di media sosial, atau bermain game online. Coba perhatikan.
Kita lihat data, ternyata menurut Firma riset yang dilansir Kompas, menunjukan pasar penjualan smartphone di tengah pandemi mengalami peningkatan. Mungkin sebagian peningkatan itu juga dipicu dengan orang tua yang mati-matian melarang anaknya menggunakan smartphone saat sebelum pandemi dan akhirnya mengalah dengan alasan bahwa anak harus belajar online menggunakan smartphone. Sementara tidak semua orang tua dapat mengontrol keseharian anak-anaknya. Atau mungkin guru-guru disekolah juga mulai abai dan kurang serius dalam melaksanakan pembelajaran online?.
Saat pandemi seperti ini, peranan terbesar dunia pendidikan berada pada orang tua, untuk memberikan pemahaman, pendidikan dan kontroling terhadap anak. Karena persis apa yang disampaikan oleh Ki hajar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan, Pendidikan rumah, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat.
Masih ingat dengan tragedi di Simalungun Sumatra Utara, orang tua yang memarahi kasir minimarket karena membiarkan seorang anak membeli voucher game online seharga Rp.800.000 yang ternyata uangnya hasil mncuri.
Dari peristiwa itu seharusnya kita menjadi sadar, ada regulasi yang harus diperbaiki, kalau kita sepakat jika game online dibatasi usia, semisal rokok, ada batas usia ketika seseorang membeli rokok, jika perlu ada juga batasan usia seseorang membeli voucher game online. Kasir minimarket tidak bisa disalhkan sepenuhnya, karena akhirnya masalah pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah melalui lembaga sekolah, tetapi juga ada peranan besar orang tua, minimlanya selama pandemi covid, saat pembelajaran dilaksanakan daring maka 70 persen pendidikan berpusat pada pendidikan keluarga. Peran orang tua menjadi sangat menentukan. Pendidikan keluarga.
Pendidikan sekolah, saat covid 19, pendidikan sekolah akhirnya hanya berkutat pada teori dan materi, transfer ilmu pengetahuan, pun dianggap belum maksimal. Pendidikan masyarakat, sebagai solusi sebenarnya orang tua sebenarnya dapat mencari alternatif tambahan ketika merasa tidak bisa mendampingi anak, salah satunya adalah dengan menggabungkan anak dengan komunitas yang menyediakan kegiatan membaca atau belajar, seperti mendekatkannya dengan komunitas literasi seperti Taman Bacaan Masyarakat, atau komunitas yang memang konsen pada pendidikan.
Misal di TBM anak-anak akan diarahkan pada kegiatan yang positif, mendekatkan anak-anak pada membaca dan aktivitas edukatif lainnya.